Archive for the ‘feature’ Category

Menuai Hikmah Puasa di Kosan

Posted: August 22, 2011 in feature

Bagi mahasiswa yang ngekos, banyak hikmah yang bisa diambil ketika melaksanakan ibadah puasa. Kebersamaan, saling menghargai dan berbagi

Bulan Ramadan sudah tiba. Puasa sudah memasuki hari kedua. Sebagian besar sekolah, kantor, instansi masih libur dalam menyambut datangnya bulan yang penuh rahmat ini. Biasanya dalam menyambut datangnya bulan Ramadan, seluruh instansi dan sekolah hanya diliburkan selama tiga hari pada awal puasa. Tak terkecuali mahasiswa, sebagai salah satu dari bagian civitas akademika kampus.

Bagi mahasiswa yang ngekos, tentunya sudah dirasakan cukup hanya dalam tiga hari berada di kampung, puasa dan berbuka bersama orang tua dan keluarga serta kesempatan untuk minta maaf kepada orang tua. Proses perkuliahan pun akan dihadapi seperti mana biasanya. Bagi sebagian mahasiswa baru, hal ini tentunya menjadi pengalaman yang berbeda dalam menjalankan puasa dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Inilah yang dirasakan oleh Andes, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang (UNP). Dengan baru berstatus mahasiswa, ia harus siap-siap untuk menghabiskan hari-hari dalam bulan puasa dengan proses perkuliahan. Ia pun kian membayangkan bagaimana rasanya nanti menjalani bulan yang penuh rahmat hanya dengan teman-teman satu kos. “Puasa bulan ini menjadi pertama kalinya berpuasa bersama teman satu kos,” ungkap Andes. Ia menambahkan, “Demi masa depan, saya harus menjalankannya.”

Lain halnya dengan apa yang dirasakan Amanda, mahasiswa tahun ketiga jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni UNP. Menurutnya berpuasa bersama dengan teman-teman satu kos menjadi momen yang menarik dan ditunggu-tunggu. Menurutnya, berpuasa bersama dengan teman-teman satu kos sebagai momentum untuk saling menghargai dan berbagi. Ia mengatakan dalam bulan puasa semua orang berada dalam kondisi yang sama, yaitu menahan diri dari makan dan minum, hawa nafsu dan menjaga emosi. Dengan adanya kondisi ini sikap saling menghargai antar sesama tertanam dengan sendirinya. “Apapun yang terjadi, kita tetap saling menghargai.”

Ia menambahkan adanya sikap tidak saling menghargai muncul karena keadaan atau kondisi yang berbeda-beda yang dialami oleh seseorang. Contohnya ketika orang kaya tidak menghargai fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan, hal ini di karenakan mereka (orang kaya) tidak merasakan bagaimana penderitaan dan kelaparan yang dialami oleh orang-orang miskin tersebut.

Begitu juga halnya dalam keinginan untuk saling berbagi. Pada bulan puasa tahun lalu, Amanda bersama dengan teman satu kos sering membeli pabukoan (makanan untuk berbuka puasa) bersama. Ketika waktu berbuka telah masuk, Amanda bersama dengan teman-temannya berbuka bersama dan saling berbagi makanan. Sehingga selama bulan puasa, ia merasa lebih dekat dan saling mengerti dengan teman-teman satu kos.

Namun, ia menyayangkan sikap saling mengerti dan berbagi hanya bisa ia temukan selama bulan Ramadan. karena setelah Ramadan, setiap teman-teman fokus dengan kesibukan masing-masing. “Sulit untuk menemukan waktu untuk makan dan berbagi bersama,” kenangnya melihat apa yang terjadi pada tahun lalu. Meski demikian, ia bertekad akan membangun kembali sikap saling menghargai dan berbagi tidak hanya dengan teman-teman satu kos tetapi juga orang yang dikenalnya pada bulan puasa ini.

Awal dulunya menjadi mahasiswa, Amanda juga merasakan sedikit sedih dan teringat akan kedua orang tua ketika masuk waktu berbuka dan sahur. Namun, seiring waktu ia mampu menghilangkan kesedihan itu dan melaksanakan bulan puasa dengan sebaik-baiknya bersama teman satu kos.

Bagi sebagian besar mahasiswa cowok, pabukoan biasanya dibeli sendiri-sendiri dan seringkali berbuka dan sahur hanya dengan teman satu kamar di dalam kamar masing-masing. Namun hal ini tidak berlaku bagi Ano, mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi UNP. Ia bersama dengan tujuh orang teman-teman satu kos membeli makanan untuk berbuka secara bersama-sama. Begitu juga ketika waktu berbuka puasa. Ia bersama dengan teman satu kos berbuka di tempat yang sama. “Tak ada yang boleh berbuka sendiri-sendiri,” kata Ano. Hingga pembacaan doa untuk berbuka puasa pun juga mereka lakukan secara bersama-sama.

Tak hanya berbuka puasa secara bersama, sahur pun juga mereka lakukan secara bersama-sama. Ketika ada salah seorang teman yang masih tidur, maka teman yang lain harus membangunkan untuk sahur. Menariknya, bagi siapa yang bangun lebih awal maka ia akan mendapatkan sejenis ‘reward’. Hadiah itu bisa berupa makanan gratis untuk berbuka puasa esok harinya. “Ini kita lakukan untuk belajar lebih menghargai,” ungkap Ano.

Ano mengaku dengan adanya penghargaan terhadap apa yang telah dilakukan oleh seseorang sekecil apapun itu, itu akan menjadi motivasi bagi yang lain untuk berbuat lebih baik. Sikap saling mengingatkan dan menghargai seperti itu dilaksanakan Ano bersama dengan teman-temannya pada bulan puasa tahun lalu. Dan hal seperti itu pun akan Ano bersama dengan teman-temannya lakukan untuk puasa kali ini.

Menurut Ano, adanya kebersamaan dan sikap saling mengingatkan itu menjadikannya lebih akrab dan telah menganggap teman-temannya adalah keluarga dalam menjalankan ibadah puasa. Hal yang sama juga dirasakan Ilham, teman satu kos Ano. Dengan adanya kebersamaan seperti itu, meski ia kuliah baru tahun kedua, ia tidak merasa sedih ketika harus kuliah di bulan puasa. “Teman-teman di sini saling pengertian dan sudah seperti keluarga saya sendiri,” ungkapnya Sabtu (29/7).

Apa yang dilakukan Ano bersama dengan tujuh temannya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Angga, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial UNP. Di samping berbuka dan sahur bersama dengan teman satu kontrakan, terkadang untuk pabukoan dan makanan sahur mereka masak bersama. Memang, masak memasak sudah menjadi salah satu aktivitas yang harus dijalankan di samping piket pada hari-hari biasa. Inipun berlaku di bulan yang penuh rahmat dan karunia. Hanya saja di bulan Ramadan mereka tidak membuat jadwal siapa yang akan memasak, tetapi kegiatan memasak dilakukan secara bersama-sama.
Awalnya setiap dari mereka harus iuran sesuai dengan jumlah yang ditetapkan. Setelah itu, secara bersama-sama pergi ke warung untuk membeli bahan-bahan yang akan dimasak. Mereka tak pernah malu, meski harus menjinjing beberapa asoi dari warung yang berisi cabe giling, bawang, kentang, dan bahan-bahan lain yang akan dimasak. “Kita kan bareng, kalau sendirian mungkin akan malu,” ujar Angga. Kegiatan memasak biasanya mereka mulai sekitar pukul lima sore. Ketika waktu berbuka masuk, hasil masakan mereka pun siap-siap untuk disantap menjelang berbuka. “Tradisi seperti ini sudah menjadi tradisi bagi mahasiswa yang ngontrak di sini,” kata Ano.
Kebersamaan di kontrakan daerah Tabing ini tak hanya berjalan sebatas itu. Hingga kebersamaan untuk melaksanakan salat tarawih pun dilaksanakan. Ano bersama dengan lima orang temannya berangkat secara bersama ke masjid untuk mengikuti salat tarawih. Demokrasi pun berlangsung untuk memilih masjid mana yang akan dijadikan tempat untuk salat. Bisa dikatakan di samping kuliah, hampir semua kegiatan selama bulan puasa dilakukan secara bersama-sama. “Datangnya bulan Ramadan menjadi kebahagiaan bagi saya dan juga teman-teman satu kos untuk siap bersama-sama dalam mencari rahmat dan karunia-Nya,” tutup Ano.

Bubar menjalin silaturahmi dan kepedulian
Kebersamaan dan kepedulian memang menjadi nilai plus seiring datangnya bulan Ramadan. Seringkali kita mendengar remaja-remaja dengan istilah ‘bubar’ atau ‘buka bareng’. Tak hanya di kalangan remaja, dewas pun juga seringkali menggunakan istilah ‘bubar’ ketika ingin mengajak rekan-rekan yang lain untuk melakukan buka bersama dalam bulan puasa. Bubar seringkali diadakan di café, restoran, rumah makan, dan tempat-tempat yang menyajikan makanan lainnya.
Begitu juga halnya dengan yang dilakukan oleh beberapa pejabat civitas akademika kampus. Seringkali pada bulan puasa diadakan buka bersama antara jajaran rektorat dengan dosen, pihak rektorat dengan mahasiswa dan juga pihak rektorat dengan masyarakat sekitar kampus. Adanya acara bubar dalam bulan puasa juga sebagai salah satu wujud silaturahmi dalam rangka untuk saling memaafkan dan berbagi.

Beberapa organisasi kemahasiswaan pun, baik itu organisasi tingkat fakultas ataupun universitas tak ketinggalan dalam menjadikan bubar sebagai wujud untuk bersilaturahmi, menjalin kebersamaan dan berbagi.. Hal ini disampaikan oleh M. Zornobi, mantan ketua BEM FBS UNP. Ia memaknai adanya acara bubar yang dilakukan oleh beberapa organisasi kemahasiswaan pada bulan puasa adalah bentuk untuk menjalin sikap silaturahmi dan kepedulian. Seperti halnya beberapa organisasi kemahasiswaan yang mengundang anak yatim atau anak jalanan untuk bubar. “Sikap itu akan muncul dengan mudahnya pada bulan puasa,” jelas Zornobi, Jumat (28/7).

Lantas, apakah sikap untuk menjalin silaturahmi dan kepedulian hanya terjadi ketika pada bulan Ramadan? Menurut hemat penulis, banyak fitrah dari bulan Ramadan. Salah satunya bubar, yang dapat meningkatkan silaturahmi dan kepedulian. Hanya saja, sebagian orang masih menerapkan sikap positif tersebut ketika di bulan Ramadan. Lepas dari bulan Ramadan, orang-orang telah disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Seakan menjadi sebuah doktrin bahwa silaturahmi dan sedekah sebuah bagian yang hanya bisa ditemukan pada bulan Ramadan.

Mestinya Ramadan adalah awal untuk membangkitkan sikap individu yang sadar akan makna dari pentingya kebersamaan, kepedulian, dan sikap menghargai. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan tiga poin itu kalau sekiranya ingin menjadi negara yang ilmunya sampai kepada kearifan, hukumnya akan sampai kepada keadilan, ekonominya akan sampai kepada pemerataan, persatuannya akan sampai kepada kekokohan, keimanannya akan sampai kepada kenyamanan, kepimpinannya sampai kepada keteladanan, kekuasaannya sampai kepada pengayoman.

Begadang Asal Gratis

Posted: September 2, 2010 in feature

Malam hari di lorong Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNP, terlihat beberapa mahasiswa duduk tanpa beralaskan tikar dan fokus menatap layar laptop masing-masing. Malam itu, Rabu(25/3) tepatnya pukul 22:30 ada 20 mahasiswa sedang berselancar di dunia maya. Ada yang mengunduh bahan-bahan perkuliahan, ada juga yang asyik ngobrol/chat dengan teman atau kenalannya. Iqbal, mahasiswa Teknik Elektronika BP 2008, salah satunya. Nge-net di FIS menjadi kebiasaannya mengisi waktu luangnya di malam hari.

Tiga kali dalam seminggu sudah dijadwalkannya untuk nge-net bersama teman-temannya di tempat itu.
Nge-net menurutnya tidak hanya sebatas hiburan, unduh lagu, obrolan, facebook, tetapi ia lebih memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari bahan-bahan materi kuliah dan mengerjakan tugas yang diberikan dosen. “Ada beberapa mata kuliah yang dikerjakan dan dikirim melalui post-el dan blog,” terang Iqbal sambil kedua tangannya yang lincah mengutak-atik huruf-huruf yang ada di papan ketik laptopnya.
Sengaja baginya jalan kaki bersama teman-teman satu kos dari Jl. Polonia, Air Tawar Timut, ke FIS hanya untuk nge-net. Menurut mahasiswa asal Pasaman ini, banyak keuntungan yang diperoleh ketika nge-net di FIS kalau dibandingkan ke warung internet. “Selain gratis, akses jaringan pun jauh lebih cepat dibandingkan di warnet,” tambahnya. Tak jauh dari tempatnya duduk berselonjor, Fauzan, mahasiswa Teknik Elektronika BP 2005 juga sedang asyik berselancar di dunia maya. Meskipun ia tidak nge-net sampai larut malam, namun itu juga sudah menjadi jadwal baginya dalam mengisi waktu luang di malam hari. Lorong FIS menjadi tempat pilihan bagi Iqbal dan mahasiswa lainnya untuk nge-net. Iqbal mengatakan hanya di FIS lah yang jaringannya jauh lebih baik dan agak cepat dalam sistem loadingnya dibandingkan di kawasan kampus yang lain. “Jaringan di kampus saya (FT, red) hanya dibuka pada siang harinya, sedangkan untuk malam harinya saya tak bisa akses,” akunya.

Dari aktivitas yang telah biasa dilakukannya sejak dua bulan terakhir ini, Iqbal mengaku nge-net jauh lebih baik dibandingkan dengan hanya berdiam diri tanpa kegiatan di rumah. Di tambah lagi mahasiswa yang dituntut untuk mengetahui perkembangan informasi di samping ilmu pengetahuan yang didapatkan dalam perkuliahan. “Sudah semestinya pihak universitas menyediakan lebih banyak lagi tempat untuk layanan jaringan internet gratis bagi mahasiswa dalam upaya menuju smart campus,” harapnya dengan tetap fokus melihat pada monitor laptopnya, Rabu (25/3).

Nge-net malam hari tidak hanya berlaku bagi mahasiswa, mahasiswi pun turut ikut dalam memanfaatkan layanan internet gratis. Dian (Jurusan Biologi 2007), Desi (Jurusan Geografi 2008), dan Nani (Jurusan Teknik Elektro 2007), juga sengaja datang ke lorong FIS untuk mencari bahan untuk mengerjakan tugas perkuliahan mereka. Dengan alasan terang dan ramai, sehingga mereka lebih memilih lorong FIS sebagai tempat untuk nge-net. “Kalau di belakang rektorat kami tidak berani karena terlalu gelap dan sunyi,” ujar Dian sambil sesekali menepis tangannya dari gigitan nyamuk.

Jaringan yang dimanfaatkan mahasiswa untuk nge-net di FIS ini bukan disediakan FIS, melainkan berasal dari Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). Menurut salah seorang tim teknologi informasi UNP, yang juga selaku pengelola internet FIP, Nur Effendi, A.Md, memang sengaja diberikan akses internet gratis untuk mahasiswa. “Selain untuk mempermudah mahasiswa dalam mengerjakan tugas, itu juga mendorong dalam pencapaian program smart campus”, ujarnya di ruang tata usaha FIP, Jum’at (27/3).

Menurut salah seorang panitia dalam pendaftaran on-line mahasiswa yang berasal dari Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Ridho Bayu Yefterson, S.Pd, FIS juga telah menyediakan jaringan internet gratis satu setengah tahun lalu yang bisa di manfaatkan oleh mahasiswa baik pada siang atau malam hari. Ada dua titik untuk jaringan wireless di FIS, titik pertama di lantai tiga Dekanat dengan menggunakan hotspot dekanat, untuk titik kedua dipasang di sekitar lokal D yang memakai hotspot FIS. “Namun memang ada sebagian mahasiswa yang nge-net di lorong FIS yang mendapatkan akses internet yang berasal dari FIP, karena itu berdekatan,” ujarnya.

Melihat semakin banyaknya mahasiswa yang nge-net pada malam hari di lorong FIS, maka pihak fakultas pun telah memasang bola lampu untuk penerangan. “Lorong FIS yang biasanya gelap sekarang sudah disediakan lampu untuk penerangan bagi mahasiswa yang nge-net di malam hari, semua itu sudah merupakan sarana sebagai salah satu upaya dalam menuju smart campus,” tambahnya mengakhiri wawancaa, Sabtu (3/4). (SKK Ganto)

Getir Kehidupan Sang Muallaf

Posted: September 2, 2010 in feature

Setiap keputusan yang diambil oleh setiap manusia, tampaknya tak selalu diamini oleh masyarakat sekitar, apalagi keluarga besar. Salah satunya adalah berpindah keyakinan. Mulai dari dikucilkan oleh masyarakat, di usir, disiksa, hingga parahnya tidak diakui lagi sebagai anggota keluarga. Barangkali, kisah ini adalah sepenggal agonia dari Hong Siok Tien, wanita keturunan Tiong Hoa ini.

Penderitaan seakan tak ada henti dalam menerpa relung kehidupannya. Seolah-olah tak ada kenangan indah yang terpatri dalam benak untuk menjalani kehidupan yang fana. Tak ada senyum yang mengembang, ataupun gelak tawa. Yang ada hanya tetesan air mata yang menemaninya dalam mengarungi jalan kehidupan. Tak hanya wanita itu yang merasakan kesedihan, tetapi bagi orang-orang yang telah mendengarkan perjalanan hidupnya pun akan merasakan kepedihan yang sama. Kepedihan itu dialami Hong Siok Tien, wanita kelahiran 11 Agustus 1942. di kampung China, Bukittinggi..

Wanita berumur 66 tahun ini sudah mengalami penganiayaan pada umur 10 tahun. “saya diperkosa ayah angkat sendiri”, kenangnya. Tentu sebuah kepedihan yang mendalam yang dirasakan Hong Siok Tien di usia yang semestinya ia mendapatkan belaian kasih sayang dan kegembiraan bermain bersama teman-teman. Ternyata kehidupan yang dialami Hong Siok Tien jauh berbeda dari anak-anak seumurnya.

Pada tahun 1975, wanita kelahiran Kampung Cina Bukittinggi ini menikah dengan seorang laki-laki beragama Islam, Marzuki Martondang. Melalui perkawinan inilah Hong Siok Tien masuk menjadi seorang muallaf dan masuk Islam hingga namanya berganti menjadi Rostina. Bersama Marzuki, Rostina menjalani kehidupan rumah tangga di kota Medan.
Wanita yang berasal dari keluarga kaya ini mulai merasakan sebuah ketidaknyamanan dalam Islam. Ditambah lagi sang suami yang yang tidak bekerja, sehingga terasa cukup berat dalam menafkahi keluarga. Akibatnya, dia keguguran dalam keadaan hamil muda. “saya sempat berpikir untuk kembali ke agama Khatolik, namun dilarang oleh suami saya”, tuturnya Kamis, (27/11).

Setelah beberapa tahun menjalani pernikahan dengan Marzuki-laki-laki yang mengajak Rostina (Hong Siok Tien) untuk masuk Islam meninggal dunia. Sebelum meninggal Marzuki memberikan amanat pada keluarga untuk menjaga Rostina agar tetap memeluk Islam. “saya dibawa ke Padang agar saya tetap memeluk Islam”, katanya.

Sesampai di Padang, Rostina tinggal di rumah orang yang satu marga dengan suaminya di Pasir Putih, Lubuk Buaya. Penganiayaan dirasakan kembali oleh Rostina semenjak tinggal di rumah Lubis-orang yang satu marga dengan suaminya. “sewaktu saya salat, memang tidak ada toleransi. Terkadang sajadah saya ditarik-tarik, saya dianggap sebagai pembantu, makan pun seadanya” jelasnya sambil bercucuran air mata.
Kemudian Rostina diajak oleh salah seorang warga sekitar untuk pindah dan tinggal di rumahnya. Namun penyiksaan kembali dirasakan Rostina. Seakan-akan kepedihan itu telah mendarah daging dalam relung kehidupannya. “ternyata tempat saya tinggal itu lebih parah lagi dari apa yang saya bayangkan. Kekerasan terjadi antar suami-istri. Akhirnya saya lari”, ujarnya sambil mengusap air mata.

Akhirnya wanita yang tidak mempunyai keluarga ini kembali ke rumah Lubis-tempat awal Rostina tiba di Padang. Kekecewaan pun terus menghinggapinya. Tidak ada aktifitas lain yang dirasakannya kecuali bekerja. “dengan kondisi saya yang seperti ini, saya tiap hari harus mencabut rumput dan membersihkan rumah”, ujarnya.
Penderitaan yang tiada hentinya yang dialami wanita yang mempunyai hobi menjahit dan memasak ini, akhirnya juga dirasakan oleh salah seorang mahasiswa Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) BP 2005. Andra, salah seorang mahasiswa yang praktek lapangan di dinas kelurahan Lubuk Buaya di mana Rosdiana sempat tinggal. Karena terbesit sebuah rasa kasih sayang dan kasihan terhadap Rosdiana, Andra pun turut membantu dalam mencari tempat tinggal wanita yang kepalanya telah dipenuhi rambut-rambut putih itu. “saya pikir ini juga termasuk ibadah”, tuturnya.
Berkat bantuan Andra inilah, pada tanggal 6 November, Rostina pindah ke salah satu rumah dosen STKIP, di Pasir Putih, Lubuk Buaya. Hanya dalam hitungan beberapa jam, Rostina pun kembali lari dari rumah itu, di karenakan suami dari pemilik rumah itu tidak menyukai kalau Rostina tinggal dirumahnya. Sampai tulisan ini diterbitkan, belum ada kepastian di mana Rostina mendapatkan tempat istirahat untuk mengisi masa tuanya.

Entah sudah berapa kali Rosdiana merasakan pahitnya diusir. “Saya tidak butuh kaya, tidak butuh emas, sekarang saya hanya ingin mencari Allah SWT. Saya sadar umur saya sudah renta”, ujar Rostina dengan sejuta kepedihan dan setumpuk harapan. (SKK Ganto)